“Mahasiswa”,
sebuah kata yang memang terlihat sederhana. Namun bagi segelintir orang yang
mengerti, kata mahasiswa memiliki makna teramat luar biasa. Tanggung jawab
besar yang menunggangi setiap pundak menjadikannya sebagai sosok MAHA bukan
lagi SISWA. Sedikit merefleksi kehidupan Mahasiswa pada zamannya (sebut saja
tahun 1998), betapa terlihat bahwa mahasiswa yang ideal bukanlah mahasiswa yang
hanya datang, duduk lantas pulang. Melainkan aktif dalam kegiatan yang kemudian
itu berdampak kepada lingkungan yang ada di sekitarnya.
1998
menjadi bukti bahwa itulah mahasiswa. Ketika penguasa sibuk dengan berbagai
kepentingannya, dilain sisi mahasiswa sibuk memikirkan hajat hidup orang banyak
yang menjadi korban-korban ketamakan pengusa ketika zamannya. Itu jugalah yang
kemudian menjadi bukti bahwa mahasiswa tidak dilahirkan dari kelas-kelas yang
membosankan, mahasiswa lahir dan tumbuh bersama masyarakat. Teks-teks
perkuliahan boleh saja terus dicetak untuk menambah skill dan pengetahuan. Tapi
realitas di luar kelas menjadikan mahasiswa lebih siap untuk diterima kembali
ke masyarakat.
Rasulullah
pernah bersabda, “khairunnas anfa uhum
linnas” yang artinya bahwa sebaik-baiknya manusia adalah ia yang bermanfaat
bagi manusia lainnya. Itulah kemudian yang harus ada dan menjadi bekal awal
seseorang untuk menjalani kehidupannya sebagai manusia terlebih ia adalah
seorang Mahasiswa. Mungkin sabda tersebut memang telah ada dan tumbuh bersama
mereka (baca mahasiswa) ketika itu. Tetapi seiring berjalannya waktu, mungkin
pula sabda tersebut telah luntur dalam tubuh-tubuh yang menamakan dirinya
sebagai mahasiswa. Wallahuallam..hanya Allah yang tahu dan serba tahu.
Namun
bukan saatnya lagi mengenang masa lalu dengan keindahannya ketika itu. Bukan
saatnya lagi mendongeng akan kisah-kisah yang tidak tahu apakah dapat terulang
dimasa yang akan datang. Waktu yang terus berjalan, dan fenomena-fenomena yang
menggemparkanpun menjadi bukti terlucutinya identitas MAHA yang kemudian
kembali menjadi SISWA. Fenomena inilah yang lazim kita kenal sebagai
“MAHA/SISWA”. Sahabat penulis pernah berkata: “Jika dinding-dinding bangunan
yang sedikit banyak berubah bisa berbicara, mungkin dia akan mengatakan kepada
kita “aku rindu mendengarkan suara teriakan-teriakan kebenaran, suara-suara
para intelektual berdiskusi untuk mencari kebenaran, bahkan nyanyian-nyanian
yang membangkitkan ghirah perjuangan kalian mahasiswa” sayangnya
dinding-dinding ini hanyalah benda mati yang saat ini mungkin hanya bisa
bersedih dan meratapi kita (baca mahasiswa) saat ini”
Membenturkan
keadaan dengan apa yang terjadi saat ini, timbul suatu pertanyaan besar bahwa
apakah yang sebenarnya terjadi pada mahasiswa saat ini?
Mencermati
kembali apa yang telah terjadi, penulis mencoba memetakan permasalahan menjadi
dua bagian yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan. Pertama adalah bahwa fenomena MAHA/SISWA terjadi karena mahasiswa
sendirilah yang membentuknya. Dan kedua adalah
bahwa sistem setiap kampuslah yang kemudian memaksa mahasiswa untuk mau tidak
mau masuk kedalam fenomena sebagaimana dimaksud.
Pemetaan
masalah diatas secara gamlang menunjukkan kepada kita semua akan apa yang
sebenarnya terjadi pada mahasiswa saat ini. Namun kembali muncul pertanyaan
besar lainnya bahwa siapakah yang harus dipersalahkan dan pantas
bertanggungjawab atas fenomena ini? Siapapun tentu tidak ingin menjadi
tersangka dalam hal ini. Namun dengan tegas penulis katakan bahwa kita semualah
yang harus dipersalahkan dan pantas bertanggungjawab atas fenomena MAHA/SISWA
ini.
“Diam
tak rela, berbuatpun aku bisa apa?” kata tersebut disatu sisi membuat kita
pasrah dengan keadaan yang kini terjadi. Namun dilain sisi, haruslah dipahami
bahwa frasa “berbuatpun aku bisa apa?” merupakan sebuat kalimat yang akan
menguji apakah kita benar-benar MAHASISWA ataukah sama halnya dengan “mereka”
yang entah MAHA ataukah SISWA?
Mengakhiri tulisan ini,
penulis teringat akan pesan Nabi Muhammad terhadap kesalahan Bani Ismail yang
tertuangkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 44, artinya: ’Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu
melupakan (kewajiban) dirimu sendiri.....Tidaklah kamu berfikir?” Oleh
sebab itu, seraya menucap Bismillahirrahmanirrahim
penulis mengajak diri sendiri dan rekan-rekan mahasiswa semua untuk kemudian
kita bersama-sama menghapus fenomena MAHA/SISWA dibalik kehidupan mahasiswa.
Agar mahasiswa kini dan esok tidak lagi menjadi MAHA/SISWA melainkan MAHASISWA.
Betapapun kampus rindu dengan sosok-sosok mahasiswa yang mampu memainkan peran
sebagai infanteri rakyat dengan berbelati keberanian, bertameng ketangguhan,
bersenapan kesolidan dan dengan peluru kebenaran.