Minggu, 22 Juni 2014

Fenomena "MAHA/SIWA" Salah Siapa?

“Mahasiswa”, sebuah kata yang memang terlihat sederhana. Namun bagi segelintir orang yang mengerti, kata mahasiswa memiliki makna teramat luar biasa. Tanggung jawab besar yang menunggangi setiap pundak menjadikannya sebagai sosok MAHA bukan lagi SISWA. Sedikit merefleksi kehidupan Mahasiswa pada zamannya (sebut saja tahun 1998), betapa terlihat bahwa mahasiswa yang ideal bukanlah mahasiswa yang hanya datang, duduk lantas pulang. Melainkan aktif dalam kegiatan yang kemudian itu berdampak kepada lingkungan yang ada di sekitarnya. 

1998 menjadi bukti bahwa itulah mahasiswa. Ketika penguasa sibuk dengan berbagai kepentingannya, dilain sisi mahasiswa sibuk memikirkan hajat hidup orang banyak yang menjadi korban-korban ketamakan pengusa ketika zamannya. Itu jugalah yang kemudian menjadi bukti bahwa mahasiswa tidak dilahirkan dari kelas-kelas yang membosankan, mahasiswa lahir dan tumbuh bersama masyarakat. Teks-teks perkuliahan boleh saja terus dicetak untuk menambah skill dan pengetahuan. Tapi realitas di luar kelas menjadikan mahasiswa lebih siap untuk diterima kembali ke masyarakat.

Rasulullah pernah bersabda, “khairunnas anfa uhum linnas” yang artinya bahwa sebaik-baiknya manusia adalah ia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Itulah kemudian yang harus ada dan menjadi bekal awal seseorang untuk menjalani kehidupannya sebagai manusia terlebih ia adalah seorang Mahasiswa. Mungkin sabda tersebut memang telah ada dan tumbuh bersama mereka (baca mahasiswa) ketika itu. Tetapi seiring berjalannya waktu, mungkin pula sabda tersebut telah luntur dalam tubuh-tubuh yang menamakan dirinya sebagai mahasiswa. Wallahuallam..hanya Allah yang tahu dan serba tahu.

Namun bukan saatnya lagi mengenang masa lalu dengan keindahannya ketika itu. Bukan saatnya lagi mendongeng akan kisah-kisah yang tidak tahu apakah dapat terulang dimasa yang akan datang. Waktu yang terus berjalan, dan fenomena-fenomena yang menggemparkanpun menjadi bukti terlucutinya identitas MAHA yang kemudian kembali menjadi SISWA. Fenomena inilah yang lazim kita kenal sebagai “MAHA/SISWA”. Sahabat penulis pernah berkata: “Jika dinding-dinding bangunan yang sedikit banyak berubah bisa berbicara, mungkin dia akan mengatakan kepada kita “aku rindu mendengarkan suara teriakan-teriakan kebenaran, suara-suara para intelektual berdiskusi untuk mencari kebenaran, bahkan nyanyian-nyanian yang membangkitkan ghirah perjuangan kalian mahasiswa” sayangnya dinding-dinding ini hanyalah benda mati yang saat ini mungkin hanya bisa bersedih dan meratapi kita (baca mahasiswa) saat ini”
Membenturkan keadaan dengan apa yang terjadi saat ini, timbul suatu pertanyaan besar bahwa apakah yang sebenarnya terjadi pada mahasiswa saat ini?

Mencermati kembali apa yang telah terjadi, penulis mencoba memetakan permasalahan menjadi dua bagian yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan. Pertama adalah bahwa fenomena MAHA/SISWA terjadi karena mahasiswa sendirilah yang membentuknya. Dan kedua adalah bahwa sistem setiap kampuslah yang kemudian memaksa mahasiswa untuk mau tidak mau masuk kedalam fenomena sebagaimana dimaksud.
Pemetaan masalah diatas secara gamlang menunjukkan kepada kita semua akan apa yang sebenarnya terjadi pada mahasiswa saat ini. Namun kembali muncul pertanyaan besar lainnya bahwa siapakah yang harus dipersalahkan dan pantas bertanggungjawab atas fenomena ini? Siapapun tentu tidak ingin menjadi tersangka dalam hal ini. Namun dengan tegas penulis katakan bahwa kita semualah yang harus dipersalahkan dan pantas bertanggungjawab atas fenomena MAHA/SISWA ini.

“Diam tak rela, berbuatpun aku bisa apa?” kata tersebut disatu sisi membuat kita pasrah dengan keadaan yang kini terjadi. Namun dilain sisi, haruslah dipahami bahwa frasa “berbuatpun aku bisa apa?” merupakan sebuat kalimat yang akan menguji apakah kita benar-benar MAHASISWA ataukah sama halnya dengan “mereka” yang entah MAHA ataukah SISWA? 

Mengakhiri tulisan ini, penulis teringat akan pesan Nabi Muhammad terhadap kesalahan Bani Ismail yang tertuangkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 44, artinya: ’Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan (kewajiban) dirimu sendiri.....Tidaklah kamu berfikir?” Oleh sebab itu, seraya menucap Bismillahirrahmanirrahim penulis mengajak diri sendiri dan rekan-rekan mahasiswa semua untuk kemudian kita bersama-sama menghapus fenomena MAHA/SISWA dibalik kehidupan mahasiswa. Agar mahasiswa kini dan esok tidak lagi menjadi MAHA/SISWA melainkan MAHASISWA. Betapapun kampus rindu dengan sosok-sosok mahasiswa yang mampu memainkan peran sebagai infanteri rakyat dengan berbelati keberanian, bertameng ketangguhan, bersenapan kesolidan dan dengan peluru kebenaran.

Minggu, 26 Januari 2014

Kegagalan Memaknai DEMOKRASI


Demokrasi merupakan salah satu fenomena penting yang mewarnai transformasi masyarakat global pada tiga dasawarsa terakhir abad ke 20. Kuatnya tuntutan demokratisasi dan maraknya diskursus demokrasi karena adanya anggapan bahwa demokrasi merupakan satu sistem yang bisa menjamin keteraturan publik dan sekaligus mendorong transformasi masyarakat menuju suatu struktur sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang lebih ideal. Kecenderungan dan minat yang sangat kuat terhadap demokrasi dan demokratisasi ini kemudian mendorong hampir semua rezim negara-negara berkembang untuk melakukan reformasi politik dan penyesuaian-penyesuaian terhadap tuntutan yang terus meningkat.

Tepanya setelah Perang Dunia ke II kita melihat gejala bahwa secara formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Menurut suatu penelitian yang diselenggarakan UNESCO ketika itu (1949) menyatakan bahwa “Mungkin untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh (Probably for the first time in history democracy is clained as the proper ideal description of all system of political and social organzation advocated by influential proponents).

Demokrasi yang ideal, pada dasarnya dapat membangun negara yang responsif, akuntabel dan legitimet. Hal tersebut dapat terwujud dalam bentuk pemerintahan yang bersih dari korupsi dan melayani kebutuhan publik secara konstitusi, lembaga perwakilan yang kredibel memperjuangkan kepentingan masyarakat, serta institusi hukum yang mengabdi pada keadilan dan kemanusiaan. 

Tetapi sangat disayangkan ketika demokrasi yang ideal tidak mampu menampakkan jati dirinya dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Hal ini menjadi ironi tersendiri bagi sebuah system yang bernamakan demokrasi. Dapat dilihat bersama bahwa terjadi defisit demokrasi yang dalam hal ini dapat dartikan dengan condongnya perubahan yang hanya sebatas instrumentalis dan formalis, model kekuasaan yang transaksional, politik biaya tinggi, instrumen politik yang tidak representatif, krisis ideologi politik, dan menguatnya pragmatisme yang semuanya tersebut bermuara pada semakin meningkatnya korupsi yang sistemik.

Terbukti sebagaimana dilansir dari hasil survei dengan tajuk Global Coruuption Barrometer (CBG) yang dilakukan oleh Transparancy International Indonesia (TII) pada tahun 2013 dengan 1.000 responden di 5 kota (Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar dan Bandung) didapatkan data bahwa 72% warga menyatakan korupsi meningkat. Sementara 20% menyatakan kondisi sama dan hanya 8% menyatakan korupsi menurun.
Ada yang salah tentunya disini, ketika idealnya demokrasi dapat digunakan sebagai cara untuk membangun negara yang responsif, akuntabel dan legitimet, tetapi dalam kenyataanya demokrasi yang kita ketahui sudah diterapkan sejak 1945 hingga saat ini terkesan membuka celah yang selebar-lebarnya kepada seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Entah apa dan siapa yang patut dipersalahkan. Akan tetapi penulis berasumsi bahwa telah terjadi kegagalan dalam memaknai arti sebuah demokrasi selama ini.

Sebagai perbandingan, pada masa orde baru corak politik otoriter dan desain kekuasaan represif melahirkan korupsi yang tertutup, dijustifikasi melalui system hukum dan politik top down. Sementara ketika era reformasi corak politik terbuka dan desain kekuasaan demokrasi oligarki melahirkan korupsi yang terbuka, dijustifikasi oleh sistem hukum dan politik bertumpu pada partisipasi semu. Dari perbandingan tersebut dapat disiimpulkan bahwa demokratisasi berproses dengan cara yang salah melahirkan korupsi yang sistematik. Perlu adanya upaya pelurusan pada proses berdemokrasi sehingga sesuai konstitusi. Karena bagaimanapun juga berdemokratisasi dengan cara yang benar adalah kunci keberhasilan negara dalam menggapai sebuah tujuan yang mulia.