Minggu, 26 Januari 2014

Kegagalan Memaknai DEMOKRASI


Demokrasi merupakan salah satu fenomena penting yang mewarnai transformasi masyarakat global pada tiga dasawarsa terakhir abad ke 20. Kuatnya tuntutan demokratisasi dan maraknya diskursus demokrasi karena adanya anggapan bahwa demokrasi merupakan satu sistem yang bisa menjamin keteraturan publik dan sekaligus mendorong transformasi masyarakat menuju suatu struktur sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang lebih ideal. Kecenderungan dan minat yang sangat kuat terhadap demokrasi dan demokratisasi ini kemudian mendorong hampir semua rezim negara-negara berkembang untuk melakukan reformasi politik dan penyesuaian-penyesuaian terhadap tuntutan yang terus meningkat.

Tepanya setelah Perang Dunia ke II kita melihat gejala bahwa secara formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Menurut suatu penelitian yang diselenggarakan UNESCO ketika itu (1949) menyatakan bahwa “Mungkin untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh (Probably for the first time in history democracy is clained as the proper ideal description of all system of political and social organzation advocated by influential proponents).

Demokrasi yang ideal, pada dasarnya dapat membangun negara yang responsif, akuntabel dan legitimet. Hal tersebut dapat terwujud dalam bentuk pemerintahan yang bersih dari korupsi dan melayani kebutuhan publik secara konstitusi, lembaga perwakilan yang kredibel memperjuangkan kepentingan masyarakat, serta institusi hukum yang mengabdi pada keadilan dan kemanusiaan. 

Tetapi sangat disayangkan ketika demokrasi yang ideal tidak mampu menampakkan jati dirinya dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Hal ini menjadi ironi tersendiri bagi sebuah system yang bernamakan demokrasi. Dapat dilihat bersama bahwa terjadi defisit demokrasi yang dalam hal ini dapat dartikan dengan condongnya perubahan yang hanya sebatas instrumentalis dan formalis, model kekuasaan yang transaksional, politik biaya tinggi, instrumen politik yang tidak representatif, krisis ideologi politik, dan menguatnya pragmatisme yang semuanya tersebut bermuara pada semakin meningkatnya korupsi yang sistemik.

Terbukti sebagaimana dilansir dari hasil survei dengan tajuk Global Coruuption Barrometer (CBG) yang dilakukan oleh Transparancy International Indonesia (TII) pada tahun 2013 dengan 1.000 responden di 5 kota (Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar dan Bandung) didapatkan data bahwa 72% warga menyatakan korupsi meningkat. Sementara 20% menyatakan kondisi sama dan hanya 8% menyatakan korupsi menurun.
Ada yang salah tentunya disini, ketika idealnya demokrasi dapat digunakan sebagai cara untuk membangun negara yang responsif, akuntabel dan legitimet, tetapi dalam kenyataanya demokrasi yang kita ketahui sudah diterapkan sejak 1945 hingga saat ini terkesan membuka celah yang selebar-lebarnya kepada seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Entah apa dan siapa yang patut dipersalahkan. Akan tetapi penulis berasumsi bahwa telah terjadi kegagalan dalam memaknai arti sebuah demokrasi selama ini.

Sebagai perbandingan, pada masa orde baru corak politik otoriter dan desain kekuasaan represif melahirkan korupsi yang tertutup, dijustifikasi melalui system hukum dan politik top down. Sementara ketika era reformasi corak politik terbuka dan desain kekuasaan demokrasi oligarki melahirkan korupsi yang terbuka, dijustifikasi oleh sistem hukum dan politik bertumpu pada partisipasi semu. Dari perbandingan tersebut dapat disiimpulkan bahwa demokratisasi berproses dengan cara yang salah melahirkan korupsi yang sistematik. Perlu adanya upaya pelurusan pada proses berdemokrasi sehingga sesuai konstitusi. Karena bagaimanapun juga berdemokratisasi dengan cara yang benar adalah kunci keberhasilan negara dalam menggapai sebuah tujuan yang mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar