Demokrasi merupakan salah satu fenomena penting yang mewarnai
transformasi masyarakat global pada tiga dasawarsa terakhir abad ke 20. Kuatnya
tuntutan demokratisasi dan maraknya diskursus demokrasi karena adanya anggapan
bahwa demokrasi merupakan satu sistem yang bisa menjamin keteraturan publik dan
sekaligus mendorong transformasi masyarakat menuju suatu struktur sosial,
politik, ekonomi, dan kebudayaan yang lebih ideal. Kecenderungan dan minat yang
sangat kuat terhadap demokrasi dan demokratisasi ini kemudian mendorong hampir
semua rezim negara-negara berkembang untuk melakukan reformasi politik dan
penyesuaian-penyesuaian terhadap tuntutan yang terus meningkat.
Tepanya setelah Perang Dunia ke II kita melihat
gejala bahwa secara formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di
dunia. Menurut suatu penelitian yang diselenggarakan UNESCO ketika itu (1949)
menyatakan bahwa “Mungkin untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan
sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik
dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh (Probably for the first time in history
democracy is clained as the proper ideal description of all system of political
and social organzation advocated by influential proponents).
Demokrasi yang ideal, pada dasarnya dapat membangun
negara yang responsif, akuntabel dan legitimet. Hal tersebut dapat terwujud
dalam bentuk pemerintahan yang bersih dari korupsi dan melayani kebutuhan
publik secara konstitusi, lembaga perwakilan yang kredibel memperjuangkan
kepentingan masyarakat, serta institusi hukum yang mengabdi pada keadilan dan
kemanusiaan.
Tetapi sangat disayangkan ketika demokrasi yang
ideal tidak mampu menampakkan jati dirinya dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia. Hal ini menjadi ironi tersendiri bagi sebuah system yang bernamakan demokrasi.
Dapat dilihat bersama bahwa terjadi defisit demokrasi yang dalam hal ini dapat
dartikan dengan condongnya perubahan yang hanya sebatas instrumentalis dan
formalis, model kekuasaan yang transaksional, politik biaya tinggi, instrumen
politik yang tidak representatif, krisis ideologi politik, dan menguatnya
pragmatisme yang semuanya tersebut bermuara pada semakin meningkatnya korupsi
yang sistemik.
Terbukti sebagaimana dilansir dari hasil survei
dengan tajuk Global Coruuption Barrometer
(CBG) yang dilakukan oleh Transparancy International Indonesia (TII) pada
tahun 2013 dengan 1.000 responden di 5 kota (Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar
dan Bandung) didapatkan data bahwa 72% warga menyatakan korupsi meningkat.
Sementara 20% menyatakan kondisi sama dan hanya 8% menyatakan korupsi menurun.
Ada yang salah tentunya disini, ketika idealnya
demokrasi dapat digunakan sebagai cara untuk membangun negara yang responsif,
akuntabel dan legitimet, tetapi dalam kenyataanya demokrasi yang kita ketahui
sudah diterapkan sejak 1945 hingga saat ini terkesan membuka celah yang
selebar-lebarnya kepada seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Entah
apa dan siapa yang patut dipersalahkan. Akan tetapi penulis berasumsi bahwa
telah terjadi kegagalan dalam memaknai arti sebuah demokrasi selama ini.
Sebagai perbandingan, pada masa orde baru corak
politik otoriter dan desain kekuasaan represif melahirkan korupsi yang tertutup,
dijustifikasi melalui system hukum dan politik top down. Sementara ketika era reformasi corak politik terbuka dan
desain kekuasaan demokrasi oligarki melahirkan korupsi yang terbuka,
dijustifikasi oleh sistem hukum dan politik bertumpu pada partisipasi semu.
Dari perbandingan tersebut dapat disiimpulkan bahwa demokratisasi berproses
dengan cara yang salah melahirkan korupsi yang sistematik. Perlu adanya upaya
pelurusan pada proses berdemokrasi sehingga sesuai konstitusi. Karena bagaimanapun
juga berdemokratisasi dengan cara yang benar adalah kunci keberhasilan negara
dalam menggapai sebuah tujuan yang mulia.