Sabtu, 24 Agustus 2013

Money Politic atau Ongkos Politik ?


Slogannya “Jangan pilih penjahat jadi pejabat”.  Tapi faktanya, kini banyak penjahat yang menjadi pejabat. Begitu membudayanya kegiatan money politics di negara kita ini membuat masyarakat seringkali sulit mengartikan dan membedakan mana yang dinamakan money politics dan mana yang dinamakan ongkos politik. Dinamika money politics seakan telah mengaburkan definisi antara ke duanya tersebut sehingga seperti yang saya katakan tadi bahwa banyak pihak yang masih bingung membedakan antara money politics dan ongkos politik. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi sudah kita temui bahwa ada dari sebagian masyarakat negara ini yang meminta untuk melegalkan yang namanya money politics tersebut. Masih terjadinya perdebatan money politics dan ongkos politik ini sekiranya juga menjadi salah satu faktor rumitnya mengeksekusi kasus money politics  yang ada di negara ini disamping masih lemahnya peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ada sebuah pertanyaan: ketika membayar tukang becak 20 ribu untuk hadir meramaikan sebuah kampanye, apakah itu sebuah praktek money politics atau ongkos politik? Atau contoh lain, ketika membayar kehadiran sejumlah massa per 1 juta untuk satu truk massa, apakah bisa disebut money politics atau ongkos politik? Dalam sesi kampanye misalnya, kandidat kemudian membagikan kaos, sembako atau bahkan uang kepada peserta kampanye sebagai bentuk terima kasih pasangan kepada rakyat yang telah datang mendengar kampanye, apakah sebuah money politics atau ongkos politik?
Banyak pelaku dalam hal ini kandidat meyakini aktivitas seperti tadi adalah sebagai tindakan yang memerlukan ongkos politik. Bagi mereka, membayar mereka yang datang sama halnya dengan kandidat lain yang mengeluarkan uang untuk biaya iklan di media massa. Kuatnya peredaran uang dalam dinamika pilkada atau pemilu semakin mengaburkan definisi tentang politik uang. Pada titik inilah kemudian praktek money politics memperoleh legitimasi sosial dari publik.
Dengan demikian, antara money politics dan ongkos politik harus memiliki batasan yang tegas. Dalam konteks ini, praktek money politics merupakan aktivitas yang secara tegas dan jelas mendorong, mengajak atau mempengaruhi pemilih untuk memilih pasangan tertentu dengan berupa iming-iming dan pemberian uang atau hal yang bersifat material. Sedangkan ongkos politik adalah biaya yang mesti dikeluarkan oleh pelaku politik atau kandidat untuk mensukseskan aktvitas politik tanpa bermaksud mendorong atau mempengaruhi pilihan politik pemilih dengan uang atau hal yang bersiat material. Artinya ketika membayar sekian ratus tukang becak untuk memeriahkan kampanye, hal itu bukan money politics, sama halnya ketika mesti membayar truk dan sound system kampanye serta pendukung kampanye lainya, maka kegiatan tersebut murni bagian dari ongkos politik. Namun apabila seorang kandidat kemudian memberikan amplop kepada peserta kampanye dengan disertai pesan dan kalimat minta dukungan, maka hal demikian disebut money politics. Tegasnya, aktivitas yang dilakukan untuk mempengaruhi pilihan atau mendorong pemilih untuk memilih pasangan tertentu dengan uang, maka hal yang demikian disebut money politik alias politik uang.
Sebenarnya banyak hal yang dapat kita semua lakukan untuk meminimalisir praktik money politics tersebut, diantaranya adalah :
  1. Meningkatkan kesejahteraan rakyat yaitu melalui penyediaan lapangan pekerjaan agar masyarakat mempunyai penghasilan sendiri dan tidak mudah termakan untuk menerima uang dalam money politik. 
  2. Meningkatkan pendidikan masyarakat melalui pendidikan formal maupun nonformal. 
  3. Perlu dilakukan sosialisasi massif ditengah-tengah masyarakat terkait bahaya money politics bagi mereka. Masyarakat mesti disadarkan untuk tidak terayu oleh praktek money politics yang dilakukan oleh oknum calon kepala daerah bersama tim suksesnya. Masyarakat harus diberi tahu bahwa uang Rp 50 ribu atau bahkan lebih besar dari itu yang diberikan oleh pelaku money politics merupakan jumlah yang sangat sedikit jika harus diganti dengan masa depan mereka yang akan suram dibawah pemimpin korup yang lahir dari praktek money politic. Jargon KATAKAN TIDAK UNTUK POLITIK UANG mungkin patut didengungkan. 
  4. Dalam hal meningkatkan kesadaran berdemokrasi,  sejak dini perlu ditanamkan hak dan kewajiban sebagai warga negara melalui kurikulum yang tepat atau melalui partai-partai politik. 
  5. Khusus bagi partai politik hendaknya dapat meningkatkan kemampuan anggota-anggota partainya dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada kader-kader politik, bahwa mereka adalah wakil-wakil rakyat terhormat. 
  6. Upaya lain yang dilakukan untuk memperkuat lembaga politik pada tatatan infrastruktur politik adalah fasilitasi pemberian bantuan keuangan terhadap partai politik (parpol) yang berjuang dalam pemilu atau pilkada. Upaya pemberian bantuan keuangan tersebut diharapkan dapat juga menghindari terjadinya praktik-praktik politik uang (money politics) oleh partai-partai politik. Lebih jauh lagi, bantuan tersebut diharapkan dapat turut mendukung terwujudnya kehidupan demokrasi di Indonesia. Saat ini, telah ditetapkan PP No. 29 Tahun 2005 tentang Bantuan keuangan kepada parpol tersebut. 
  7. Kader-kader partai politik juga harus mengetahui dengan pasti kepentingan-kepentingan rakyat yang diwakili dan harus dapat memperjuangkan demi untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat, namun jangan hanya mementingkan kepentingan golongan atau partai. 
  8. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku mengenai dana pelaksanaan pemilu, harus dilaporkan secara transparan kepada KPU, bahkan kepada masyarakat. Hal ini penting guna mengetahui sumber perolehan keuangan dan pengeluaran. 
  9. Antar partai politik agar menjalin hubungan yang harmonis dan memperjuangkan kepentingan rakyat, sehingga dapat dihindari dari konflik-konflik yang tidak diinginkan.
Dalam suatu pemilihan umum, suara rakyat menjadi hal yang sangat penting, sehingga diincar oleh setiap kontestan Pemilu. Sebab, suara rakyat menentukan output dari sebuah pemilihan. Siapa pemenang dan siapa pecundang. Tak salah jika ada Idiom yang mengatakan suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi vox dei). Itulah demokrasi, siapa banyak dia menang, meski kita juga harus memahami bahwa belum tentu yang banyak itulah yang terbaik, atau yang benar. Oleh sebab itu, masyarakat diharapkan mampu mengaspirasikan suara hatinya dengan memilih calon sesuai hati nurani dan sesuai kemampuan memenang jabatan yang dimiliki oleh calon peserta pemilu, jangan semata memilih hanya karna paksaan dari pihak luar dan karna iming-iming uang dari peserta yang melakukan praktik money politics.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar